Kadang orang menyebut cewe berdandan aneh atau harajuku girl dengan new geisha, padahal keduanya jelas berbeda. Harajuku girls sebenarnya hanyalah cewe2 yang doyan berdandan aneh yang hang out di kawasan pusat perbelanjaan Harajuku. Sedang istilah geisha mengacu pada seniman penghibur jepang.
Lalu seperti apa sebenarnya geisha itu?
Geisha dalam bahasa Jepang adalah seniman-penghibur tradisional Jepang. Kata geiko digunakan di Kyoto untuk mengacu kepada individu tersebut. Geisha sangat umum pada abad ke-18 dan abad ke-19, dan masih ada sampai sekarang ini, walaupun jumlahnya tidak banyak.
“Geisha,” yang dilafalkan dalam bahasa Inggris:/ˈgeɪ ʃa/ (“gei-” – “may”). Di Kansai, istilah “geiko” (芸妓) dan geisha pemula “maiko” (舞妓) yang digunakan sejak Restorasi Meiji. Istilah “maiko” hanya digunakan di distrik Kyoto.
Pengucapan ˈgi ʃa (“gei-” – “key”) atau “gadis geisha” umum digunakan pada masa pendudukan Amerika Serikat di Jepang, mengandung konotasi prostitusi. Di Republik Rakyat Cina, kata yang digunakan adalah “yi ji,” yang pengucapannya mirip dengan “ji” dalam bahasa Mandarin yang berarti prostitusi.
Geisha belajar banyak bentuk seni dalam hidup mereka, tidak hanya untuk menghibur pelanggan tetapi juga untuk kehidupan mereka. Rumah-rumah geisha (“Okiya”) membawa gadis-gadis yang kebanyakan berasal dari keluarga miskin dan kemudian melatih mereka. Semasa kanak-kanak, geisha seringkali bekerja sebagai pembantu, kemudian sebagai geisha pemula (maiko) selama masa pelatihan.
Meskipun hanya dalam komunitas kecil, namun geisha sampai sekarang masih ada, khususnya dai kawasan kyoto. Berbeda dengan penghibur yang berdandan menor, make up para geisha justru putih pucat dengan secuil aksen merah. Satu hal lagi, geisha dilarang menikah. Meski kenyataannya banyak dari mereka juga menjadi simpanan pejabat. Tapi resminya, selama masih jadi geisha ia tidak menikah, artinya tidak memiliki anak.
Lalu seperti apa sebenarnya geisha itu?
Geisha dalam bahasa Jepang adalah seniman-penghibur tradisional Jepang. Kata geiko digunakan di Kyoto untuk mengacu kepada individu tersebut. Geisha sangat umum pada abad ke-18 dan abad ke-19, dan masih ada sampai sekarang ini, walaupun jumlahnya tidak banyak.
“Geisha,” yang dilafalkan dalam bahasa Inggris:/ˈgeɪ ʃa/ (“gei-” – “may”). Di Kansai, istilah “geiko” (芸妓) dan geisha pemula “maiko” (舞妓) yang digunakan sejak Restorasi Meiji. Istilah “maiko” hanya digunakan di distrik Kyoto.
Pengucapan ˈgi ʃa (“gei-” – “key”) atau “gadis geisha” umum digunakan pada masa pendudukan Amerika Serikat di Jepang, mengandung konotasi prostitusi. Di Republik Rakyat Cina, kata yang digunakan adalah “yi ji,” yang pengucapannya mirip dengan “ji” dalam bahasa Mandarin yang berarti prostitusi.
Geisha belajar banyak bentuk seni dalam hidup mereka, tidak hanya untuk menghibur pelanggan tetapi juga untuk kehidupan mereka. Rumah-rumah geisha (“Okiya”) membawa gadis-gadis yang kebanyakan berasal dari keluarga miskin dan kemudian melatih mereka. Semasa kanak-kanak, geisha seringkali bekerja sebagai pembantu, kemudian sebagai geisha pemula (maiko) selama masa pelatihan.
Meskipun hanya dalam komunitas kecil, namun geisha sampai sekarang masih ada, khususnya dai kawasan kyoto. Berbeda dengan penghibur yang berdandan menor, make up para geisha justru putih pucat dengan secuil aksen merah. Satu hal lagi, geisha dilarang menikah. Meski kenyataannya banyak dari mereka juga menjadi simpanan pejabat. Tapi resminya, selama masih jadi geisha ia tidak menikah, artinya tidak memiliki anak.
Pengakuan Geisha Modern: Sejarah Berubah
DELAPAN tahun lalu, Komomo masih gadis remaja Jepang yang tinggal di Beijing. Seperti gadis lain seusianya, Komomo suka naik sepeda keliling kota dan main biliar setiap akhir pekan bersama kawan-kawanya.
Sekarang ia menjadi geisha di Kyoto, ibu kota Jepang kuno. Ia menjadi anggota komunitas profesi kuno yang mulai pudar, profesi perempuan penghibur yang mengandalkan kecantikan dan keterampilan memainkan tarian dan musik tradisional serta percakapan yang mengundang penasaran tamu.
Namun, persentuhan Komomo dengan dunia geisha tidak seperti cara masa lalu, yang membutuhkan koneksi kuat bagi seorang gadis untuk bergabung. Gadis yang sekarang menginjak 23 tahun itu memenuhi ‘panggilannya’ melalui e-mail.
Komomo yang berarti Si Persik Kecil tidak secuil pun tahu tentang dunia geisha yang tertutup dan menyendiri sampai ia menemukan situshttp://www.e-koito.com yang dijalankan Koito. Koito adalah seorang geisha di Kyoto yang mempunyai sebuah okiya atau rumah geisha.
“Saya ingin tahu lebih banyak soal negara saya dan itu sebabnya saya memilih dunia ini,” kata Komomo, beberapa waktu lalu.
Saat itu Komomo mengenakan kimono hitam lengkap dengan aksesori, seperti selendang yang membelit perut dengan ikatan khas di punggung. Masih ada lagi, make up putih pucat dengan secuil aksen merah di bagian mata. Pokoknya sama dengan gambaran geisha yang kita kenal lewat berbagai media.
“Saya ingin menjadikan sejarah dan tradisi Jepang sebagai bagian hidup saya. Bukan mengenakan kimono hanya pada saat-saat tertentu, tetapi pada kehidupan sehari-hari seperti masa lalu,” katanya.
“Sering saya merasa paling diperhatikan, tetapi akhirnya ada yang membuat saya merendah,” katanya mengenang masa lima tahun ia menjadi seorang maiko.
“Sebenarnya sangat melegakan begitu akhirnya saya menjadi seorang geisha karena tidak perlu lagi dipaksa ‘on’ selama 24 jam,” kenangnya.
Komomo menolak bercerita tentang apa saja yang dia dapatkan begitu menjadi geisha. Namun, menurut orang-orang di sekitar gedung teater tempat pada geisha itu biasa menari, Komomo sangat terkenal.
Kalau popularitas itu berbanding lurus denga perolehan uang, rasanya juga masuk akal. Karena saat ini Komomo sudah punya rumah sendiri dan ruang utamanya dihiasi televisi layar datar besar. Sebagai geisha masa kini, Komomo juga melengkapi rumah itu dengan komputer Macintosh model terkini.
“Ketika baru mulai, saya diberitahu bahwa wajah saya tidak cantik, jadi saya harus tetap tersenyum. Kecantikan memang mempermudah pekerjaan, tetapi saya tidak boleh terlalu mengandalkan itu,” tuturnya.
Masih ada satu hal yang mengusik pikiran Komomo, yakni masa depan. Ya, tidak ada dana pensiun untuk geisha dan mereka pun dilarang menikah. Meski di masa lalu, ada sebagian geisha yang menjadi istri simpanan dan sebagian lagi hidup sendiri.
Meski nanti ingin punya anak, Komomo masih dua tahun menjalani kehidupan sebagai geisha dan belum berpikir apa pun tentang masa depan. “Bahkan saya belum punya pacar. Saya terlalu sibuk untuk kencan dan tamu-tamu di pesta-pesta itu seumur ayah saya,” katanya mengeluh karena tidak adanya pilihan terhadap laki-laki yang pantas menjadi kekasihnya.
Dunia geisha saat ini tidak mudah dijalani dan pelan-pelan mulai memudar di negeri yang katanya sangat berpegang teguh pada tradisi. Ini menjadi keprihatinan tersendiri. Geisha mencapai puncaknya tahun 1928 dengan jumlah 80.000 orang. Tetapi sekarang jumlahnya tak lebih dari 1.000 orang. Satu dari enam distrik geisha di Kyoto sudah gulung tikar karena semakin tidak laku.
Keterpurukan ekonomi pada era 1990-an mau tidak mau berpengaruh pada anggaran untuk bersenang-senang, khususnya bagi kalangan eksekutif swasta yang selama ini dikenal sebagai pelanggan utama bisnis geisha ini. Para politisi kini sudah banyak yang tidak berani lagi ‘jajan’ karena banyak skandal terungkap dan membuat mereka terpuruk.
Pesta dengan geisha memang mahal. Satu kali jamuan makan yang menghadirkan seorang geisha membutuhkan setidaknya 80.000 yen atau sekitar Rp 7,2 juta per orang, tergantung dari tempat dan jumlah geisha yang didatangkan.
Hal lain yang mengancam kelangsungan dunia geisha adalah kecenderungan pria mencari hiburan di karaoke atau bar yang lebih informal tetapi masih bisa berlengket-lengket dengan pramuria.
Banyak orang, termasuk Komomo, mengatakan bahwa dunia geisha harus lebih terbuka dan menurutnya internet adalah pengantar paling ideal. “Di masa lalu, orang hanya bisa tahu geisha kalau ada yang mengenalkan, tetapi sekarang semua orang tergantung pada internet untuk mendapatkan informasi,” kata Kyoko Aihara, penulis yang juga pakar geisha.
“Miyagawa-cho sudah memperkenalkan diri lewat internet. Mereka lebih fleksibel dibandingkan kampung geisha lain, mereka ingin orang bersenang-senang. Dan itu berhasil,” lanjut Kyoko.
Agar orang-orang yang masih asing dengan geisha gampang masuk ke dunia itu, Koito, pelatih Komomo, membuka sebuah bar elegan di lantai pertama okiya-nya. Di tempat itu, para tamu bisa bertemu dengan geisha yang tarifnya lebih mahal.
“Sejarah berubah, jadi kalau Anda menawarkan yang itu-itu saja percuma. Pelayanan harus menyesuaikan dengan zaman, kata Koito. Bagi Koito, lingkungan geisha harus tetap bisa memenuhi apa yang diperlukan dunia. “Kalau kami sudah tidak diperlukan lagi, tak ada lain yang bisa dilakukan kecuali menghilang,” kata geisha senior ini.
DELAPAN tahun lalu, Komomo masih gadis remaja Jepang yang tinggal di Beijing. Seperti gadis lain seusianya, Komomo suka naik sepeda keliling kota dan main biliar setiap akhir pekan bersama kawan-kawanya.
Sekarang ia menjadi geisha di Kyoto, ibu kota Jepang kuno. Ia menjadi anggota komunitas profesi kuno yang mulai pudar, profesi perempuan penghibur yang mengandalkan kecantikan dan keterampilan memainkan tarian dan musik tradisional serta percakapan yang mengundang penasaran tamu.
Namun, persentuhan Komomo dengan dunia geisha tidak seperti cara masa lalu, yang membutuhkan koneksi kuat bagi seorang gadis untuk bergabung. Gadis yang sekarang menginjak 23 tahun itu memenuhi ‘panggilannya’ melalui e-mail.
Komomo yang berarti Si Persik Kecil tidak secuil pun tahu tentang dunia geisha yang tertutup dan menyendiri sampai ia menemukan situshttp://www.e-koito.com yang dijalankan Koito. Koito adalah seorang geisha di Kyoto yang mempunyai sebuah okiya atau rumah geisha.
“Saya ingin tahu lebih banyak soal negara saya dan itu sebabnya saya memilih dunia ini,” kata Komomo, beberapa waktu lalu.
Saat itu Komomo mengenakan kimono hitam lengkap dengan aksesori, seperti selendang yang membelit perut dengan ikatan khas di punggung. Masih ada lagi, make up putih pucat dengan secuil aksen merah di bagian mata. Pokoknya sama dengan gambaran geisha yang kita kenal lewat berbagai media.
“Saya ingin menjadikan sejarah dan tradisi Jepang sebagai bagian hidup saya. Bukan mengenakan kimono hanya pada saat-saat tertentu, tetapi pada kehidupan sehari-hari seperti masa lalu,” katanya.
“Sering saya merasa paling diperhatikan, tetapi akhirnya ada yang membuat saya merendah,” katanya mengenang masa lima tahun ia menjadi seorang maiko.
“Sebenarnya sangat melegakan begitu akhirnya saya menjadi seorang geisha karena tidak perlu lagi dipaksa ‘on’ selama 24 jam,” kenangnya.
Komomo menolak bercerita tentang apa saja yang dia dapatkan begitu menjadi geisha. Namun, menurut orang-orang di sekitar gedung teater tempat pada geisha itu biasa menari, Komomo sangat terkenal.
Kalau popularitas itu berbanding lurus denga perolehan uang, rasanya juga masuk akal. Karena saat ini Komomo sudah punya rumah sendiri dan ruang utamanya dihiasi televisi layar datar besar. Sebagai geisha masa kini, Komomo juga melengkapi rumah itu dengan komputer Macintosh model terkini.
“Ketika baru mulai, saya diberitahu bahwa wajah saya tidak cantik, jadi saya harus tetap tersenyum. Kecantikan memang mempermudah pekerjaan, tetapi saya tidak boleh terlalu mengandalkan itu,” tuturnya.
Masih ada satu hal yang mengusik pikiran Komomo, yakni masa depan. Ya, tidak ada dana pensiun untuk geisha dan mereka pun dilarang menikah. Meski di masa lalu, ada sebagian geisha yang menjadi istri simpanan dan sebagian lagi hidup sendiri.
Meski nanti ingin punya anak, Komomo masih dua tahun menjalani kehidupan sebagai geisha dan belum berpikir apa pun tentang masa depan. “Bahkan saya belum punya pacar. Saya terlalu sibuk untuk kencan dan tamu-tamu di pesta-pesta itu seumur ayah saya,” katanya mengeluh karena tidak adanya pilihan terhadap laki-laki yang pantas menjadi kekasihnya.
Dunia geisha saat ini tidak mudah dijalani dan pelan-pelan mulai memudar di negeri yang katanya sangat berpegang teguh pada tradisi. Ini menjadi keprihatinan tersendiri. Geisha mencapai puncaknya tahun 1928 dengan jumlah 80.000 orang. Tetapi sekarang jumlahnya tak lebih dari 1.000 orang. Satu dari enam distrik geisha di Kyoto sudah gulung tikar karena semakin tidak laku.
Keterpurukan ekonomi pada era 1990-an mau tidak mau berpengaruh pada anggaran untuk bersenang-senang, khususnya bagi kalangan eksekutif swasta yang selama ini dikenal sebagai pelanggan utama bisnis geisha ini. Para politisi kini sudah banyak yang tidak berani lagi ‘jajan’ karena banyak skandal terungkap dan membuat mereka terpuruk.
Pesta dengan geisha memang mahal. Satu kali jamuan makan yang menghadirkan seorang geisha membutuhkan setidaknya 80.000 yen atau sekitar Rp 7,2 juta per orang, tergantung dari tempat dan jumlah geisha yang didatangkan.
Hal lain yang mengancam kelangsungan dunia geisha adalah kecenderungan pria mencari hiburan di karaoke atau bar yang lebih informal tetapi masih bisa berlengket-lengket dengan pramuria.
Banyak orang, termasuk Komomo, mengatakan bahwa dunia geisha harus lebih terbuka dan menurutnya internet adalah pengantar paling ideal. “Di masa lalu, orang hanya bisa tahu geisha kalau ada yang mengenalkan, tetapi sekarang semua orang tergantung pada internet untuk mendapatkan informasi,” kata Kyoko Aihara, penulis yang juga pakar geisha.
“Miyagawa-cho sudah memperkenalkan diri lewat internet. Mereka lebih fleksibel dibandingkan kampung geisha lain, mereka ingin orang bersenang-senang. Dan itu berhasil,” lanjut Kyoko.
Agar orang-orang yang masih asing dengan geisha gampang masuk ke dunia itu, Koito, pelatih Komomo, membuka sebuah bar elegan di lantai pertama okiya-nya. Di tempat itu, para tamu bisa bertemu dengan geisha yang tarifnya lebih mahal.
“Sejarah berubah, jadi kalau Anda menawarkan yang itu-itu saja percuma. Pelayanan harus menyesuaikan dengan zaman, kata Koito. Bagi Koito, lingkungan geisha harus tetap bisa memenuhi apa yang diperlukan dunia. “Kalau kami sudah tidak diperlukan lagi, tak ada lain yang bisa dilakukan kecuali menghilang,” kata geisha senior ini.
Geisha, Misteri Bunga Sakura
PESONA DALAM KABUT RAHASIA
Geisha.
Oh … itu wanita penghibur dari Jepang dengan wajah putih tembok, bibir merah cabe, bersanggul besar dan mengenakan kimono. Begitu mungkin imajinasi yang terbentuk di benak kita jika mendengar kata geisha. Pemahaman yang sama sekali tidak salah, hanya mungkin agak terlalu ‘simpel’. Geisha bukan sekedar wanita penghibur, mereka bukan sekedar prostitute, tetapi lebih dari itu.
Lebih dari sekedar prostitute?
Untuk menjadi geisha, seorang gadis harus menjalani latihan bertahun- tahun di okiya (rumah geisha), dengan biaya yang sangat mahal. Seorang geisha harus pandai memainkan alat musik tradisional Jepang, yaitu Shamisen, piawai menari, menguasai sastra, dan memiliki pengetahuan luas sehingga bisa diajak berbicara apa saja. Geisha juga harus berperilaku lemah lembut, sopan, dan memikat hati.
Memikat hati siapa? Para pria pelanggannya, of course …
Keberadaan geisha dalam struktur kehidupan Jepang sudah berlangsung selama 400 tahun. Pada suatu masa dalam sejarah negeri Sakura ini, geisha memiliki posisi yang demikian penting dan tinggi, meskipun kini mereka hampir punah terlibas zaman …
Geisha, mereka begitu populer, tetapi kehidupan mereka sesungguhnya, terselimut rapat dalam rahasia …
Adalah Arthur Golden, seorang penulis Amerika yang tersihir oleh tradisi misterius geisha. Ia menghabiskan waktu 10 tahun untuk melakukan riset tentang kehidupan geisha, yang kemudian divisualkan dalam bentuk film dokumenter yang sangat memikat oleh BBC.
Jauh dari kehidupan sehari-hari, geisha adalah golongan elit. Bagi kebanyakan orang, tidak terlalu mudah untuk melihat geisha. Mereka menjadi simbol yang dipuja dan merupakan salah satu bagian terpenting dalam budaya Jepang. Geisha sendiri berarti ‘seniman’.
Geisha pertama kali muncul pada tahun 1600-an. Pada masa itu, pusat pemerintahan Jepang berada di kota Edo, yang sekarang dikenal dengan nama Tokyo, dengan Shogun sebagai penguasa penuh. Pada awalnya, geisha adalah laki-laki. Mereka menari dan menyanyi untuk menghibur para tamu. Namun kemudian, geisha laki-laki digantikan oleh geisha perempuan, dan hingga sekarang semua geisha adalah perempuan.
Geisha dilatih untuk menyenangkan tamu. Mereka juga harus menutup mulut rapat-rapat, tidak boleh membocorkan apa pun yang pernah dibicarakan tamu.
Pada tahun 1779 geisha diakui sebagai sebuah profesi. Pemerintah kemudian membentuk Kenban untuk mengawasi mereka, mencegah geisha menjadi pelacur. Geisha bertugas menghibur tamu dalam pesta, tetapi tidak melacurkan diri secara bebas. Untuk itu, Kenban mengeluarkan peraturan yang mengharuskan geisha diantar pergi dan pulang dari pesta, agar mereka tidak ‘berbelok di jalan’.
Bagaimana perjalanan seorang perempuan hingga menjadi geisha?
Kyoto adalah pusat keberadaan geisha. Di Kyoto terdapat wilayah yang disebut Gion, yang merupakan tempat gadis-gadis muda mengawali karier sebagai geisha. Gadis-gadis kecil berumur 7 atau 8 tahun mulai dididik disini, dan selama bertahun-tahun mereka dilatih oleh guru geisha, belajar bahasa, memainkan alat musik Shamisen, menari, dan sebagainya. Murid dari Gion disebut Maiko. Biaya pendidikan geisha, serta biaya untuk membeli kimono dan perlengkapan lainnya, mencapai 500.000 $US.
Para geisha tinggal di okiya (rumah geisha) yang dipimpin oleh ‘Ibu Geisha’. Hubungan di antara sesama geisha sangat erat, seringkali melebihi kedekatan hubungan dengan keluarga sendiri. Geisha-geisha yang masih muda memiliki ‘kakak geisha’ yang membimbing mereka untuk menjadi geisha sempurna.
Pada suatu masa, terdapat seorang geisha berwarga negara Amerika, bernama Liza Dalby.Ini adalah suatu pengecualian yang luar biasa, karena semua geisha adalah orang Jepang. Pada awalnya, Liza mempelajari geisha untuk gelar doktornya. Ia tinggal bersama para geisha, dan begitu terpesona pada dunia ini sehingga akhirnya memutuskan untuk menjadi geisha. Seorang geisha bermata biru, selalu membuat para tamu terkejut. Liza memiliki kualifikasi yang sangat bagus sebagai geisha, dan lama sesudah ia meninggalkan dunia ini, ia masih selalu mengenang kehidupan para geisha dengan penuh cinta.
Liza Dalby, melakukan penelitian doktor tentang geisha, sebelum akhirnya menjadi geisha
Dalam kehidupan geisha dikenal adanya mizuage, yaitu menjual kegadisan pada penawar tertinggi, yang berlangsung sejak tahun 1930-an. Harga tertinggi yang pernah dicapai dalam mizuage adalah 850.000 dolar ! Mizuage ini seringkali menjadi peristiwa traumatis bagi seorang geisha.
Riasan seorang geisha sangat khas. Wajah disaput bedak putih tebal, separuh bibir dicat dengan warna merah tua. Yang menarik, pada leher bagian belakang, di batas anak rambut, kulit sengaja tidak dibedaki, sehingga memperlihatkan kulit asli sang geisha. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan ketelanjangan yang sensual. Paling tidak, begitulah menurut selera lelaki Jepang …
Benda paling berharga bagi seorang geisha adalah kimono, karena kimono yang bagus sangat mahal, dan mereka harus selalu mengenakan busana itu. Warna kimono dipilih sesuai dengan musim : hitam untuk awal tahun dan hari-hari penting, pink untuk musim semi, jingga untuk musim gugur, dan hijau untuk musim dingin. Sanggul geisha ditata seminggu sekali oleh penata rambut profesional yang sudah berpengalaman selama puluhan tahun. Agar tatanan rambut tidak rusak, geisha tidur dengan leher disangga balok kayu. Jika keluar rumah, geisha mengenakan bakiak tinggi, agar kimononya tidak kotor.
Geisha berbeda dengan pelacur, dan hal ini tampak pada cara mereka berpakaian. Pelacur mengikat obinya di depan, sedangkan obi geisha diikat di belakang. Karena diikat di depan, pelacur dengan mudah akan mengenakan obinya kembali setelah dibuka. Sedangkan geisha, karena obinya diikat di belakang, mereka tidak bisa setiap saat membuka dan mengikatnya kembali, karena untuk mengikat obi di belakang membutuhkan bantuan juru riasnya.
Tiga orang geisha berjalan di Kyoto. Agar tampil sempurna, mereka membutuhkan waktu berjam-jam untuk merias diri dan mengenakan kimono.
Kimono yang ketat membuat mereka harus berjalan dengan langkah kecil-kecil. Dengan bakiak tinggi, sungguh tidak mudah …
Dalam tradisi masyarakat Jepang, sangat jarang seorang suami bercengkerama dengan isterinya. Tugas isteri adalah mengatur rumah tangga dan membesarkan anak, sementara suami membayar geisha untuk bersenang-senang. Anehnya, banyak perempuan Jepang justru bangga jika suaminya menjadi pelanggan dan memiliki hubungan dengan seorang geisha. Paling tidak, pengakuan seperti itu keluar dari bibir isteri Profesor Moriya, seorang pelanggan geisha.
“Jika suami menghadapi masalah, atau berurusan dengan orang yang tidak disukainya, dan pikirannya kusut, ia akan pergi menemui geisha. Lalu ia pulang dengan senyum lebar, dan saya ikut tersenyum. Saya bangga suami saya berhubungan dengan geisha, seorang wanita profesional … ” ia berkata.
Wooooh …..
Seorang geisha di antara para tamunya
Seorang geisha tidak boleh menikah, tetapi ia bisa memiliki anak dari Danna, pria yang menjadi kekasih dan menanggung biaya hidupnya. Biaya hidup geisha sangat mahal, dan ia dituntut untuk selalu tampil mewah. Di sebuah toko di Gion, harga sebuh tali untuk mengikat obi (ikat pinggang kimono) mencapai 220 $US, sementara harga tas pelengkap kimono mencapai 500 $US. Namun demikian, penghasilan seorang geisha juga cukup besar. Untuk tampil selama 1 jam, tamu harus membayar 500 $US. Mameka, seorang geisha senior, memiliki penghasilan 8000 $US per bulan. Ia memiliki Danna yang kaya raya, yang membelikannya sebuah apartemen mewah seharga 850.000 $US. Mameka menjadi contoh ideal bagi para maiko, geisha muda di Gion.
Kini, jumlah geisha di Tokyo tinggal sekitar 100 orang. Namun demikian, di pantai Atami, muncul sebuah tempat bernama Hot Spring Geisha, dimana para wanita tuna susila menyamar sebagai geisha, dan melakukan pertunjukan dengan harga tiket yang sangat murah. Para geisha palsu ini menari dan menyanyi sekedarnya, bahkan rambut mereka pun palsu (semacam wig yang tinggal dipasang di kepala). Dengan membayar 8$US, orang dapat menyaksikan ‘geisha’ Hot Spring menari dan menyanyi. Begitupun, pengunjung puas, dan percaya mereka telah benar-benar menyaksikan geisha.
Pertunjukan ‘geisha’ di Hot Spring di Atami. Para geisha palsu ini berjumlah sekitar 400 orang, lebih banyak dari geisha asli
Dalam setiap budaya bangsa-bangsa di seluruh dunia, selalu ada perempuan-perempuan yang berprofesi sebagai penghibur pria. Sungguh menyedihkan, tetapi itulah realita yang ada. Posisi laki-laki dan perempuan yang timpang, dimana perempuan menjadi pihak yang tersubordinasi, membuat banyak perempuan berada pada posisi yang tidak berdaya, dan diperdayakan.
Semoga ke depan perempuan di seluruh dunia mampu bangkit dan mensejajarkan dirinya dengan para pria. Bukankah sesungguhnya pria dan wanita adalah sesama manusia yang harus saling menghormati dan menghargai keberadaan masing-masing?
PENGERTIAN GEISHA sebenarnya itu :
Apa itu Geisha? Sebagian besar orang tentu langsung membayangkan sosok wanita Jepang ber-kimono lengkap dengan dandanan putih tebal dan rambut palsunya. Geisha sering disalahartikan banyak orang sebagai wanita penghibur atau yng berkaitan dengan prostitusi. Padahal, arti geisha sebenarnya adalah â??senimanâ?? atau â??artisâ??, yang berasal dari huruf kanji gei [=seni] dan sha/mono [=orang].
1. Honko
Pulskers harus tahu jika profesi geisha itu tidak selamanya dilakoni oleh para perempuan Jepang. Dan memang benar ternyata kaum lelaki Jepang pun ada yang memilih menjadi geisha sebagai profesinya. Lelaki yang menjadi geisha disebut sebagai Honko, mereka pun mengerjakan sebagaimana yang dilakukan oleh para geisha, menari, berdiskusi, bernyanyi dan menemani tamunya di restoran, bar, dan rumah teh. Dan berdasarkan catatan bahwa geisha pertama, adalah seorang lelaki.
2. Pelaku Seni
Arti sebenarnya dari geisha itu sendiri adalah pelaku seni, seniman atau seniwati. Namun banyak masyarakat dunia yang menganggap profesi geisha tidak bedanya dengan pelaku prostitusi (PSK). Jika Pulskers mencarinya di mesin pencarian google, maka akan ditemukan sebuah pengertian yang menyatakan bahwa geisha adalah perempuan Jepang yang dilatih untuk menghibur para pria dengan cara berbincang-bincang, menari dan bernyanyi.
Bahkan jauh di masa lalu, para geisha dipaksa melakukan sebuah upacara yang disebut dengan â??mizuage.â?? Sebuah upacara menyambut datangnya masa dewasa bagi seorang perempuan. Selama upacara berlangsung para maiko (geisha yang masih dalam pendidikan) â??dijualâ?? kepada penawar tertinggi untuk melepaskan masa gadisnya. Meski demikian upacara tersebut dianggap sakral dan para maiko tetap dihormati.
3. Tanpa Identitas (Anonimus)
Sobat unik menjadi seorang geisha adalah menjadi seorang yang tidak dikenal, dan hal demikian disampaikan dalam sesi pendidikannya. Para geisha diharuskan menyembunyikan semua yang merujuk pada identitas mereka, seperti nama, alamat rumah dan sebagainya meskipun tamu itu benar-benar seorang terhormat.
4. Aurat
Seorang geisha yang sedang melayani tamu dengan membuatkan minuman teh akan menarik kimononya, sehingga keindahan kulit lengannya dapat dilihat oleh lelaki yang menjadi tamunya. Perilaku tersebut adalah sebuah simbol sensualitas ataupun godaan yang akan dinikmati oleh tamunya, dan itu memang diharuskan.
5. Stigma
Seperti semua tentang geisha adalah hal yang negatif, padahal banyak hal yang tidak bisa dibayangkan dari seorang geisha terutama dalam kacamata budaya. Keberadaan dan sikap mereka sangat ekslusif, maka tak heran orang orang akan mengatakan hal apapun di luar kebenaran. Bahkan dengan adanya geisha versi modern, yang konsepnya jauh dari ajaran geisha sebenarnya, meubah semua nilai-nilai luhur geisha sebagai pelaku seni.
6. Kimono yang Didesain Khusus
Pulskers, karena seorang geisha adalah seorang yang memiliki berbagai keterampilan, bahkan untuk kimono saja mereka membuatnya sendiri. Meskipun banyak kimono yang dijual di toko-toko pakaian â??tentu saja buatan mesin, namun mereka selalu menjahitnya sendiri dengan kain yang terbuat dari sutra. Kimono tersebut tidak akan mereka ganti, selama menjadi seorang geisha. Selain itu untuk merias wajah, mereka menghabiskan dua jam lamanya untuk membuat wajah dan penampilan mereka cantik dan menarik.
7. Okiya
Pulskers, para geisha bekerja di sebua tempat yang disebut dengan Okiya, dan dibina oleh seorang â??okasanâ?? (nyonya rumah). Namun meskipun mereka bekerja keras menemani para tamu bahkan menjaga dan mengurus rumah para kliennya, upah mereka masuk ke kantung saku okasan. Uang tersebut akan disimpan dan digunakan untuk merawan rumah para geisha (okiya) serta menjaga kelangsungan bisnisnya.
8. Maiko dan Hangyoku (geisha muda)
Maiko adalah sebutan untuk geisha muda atau perempuan yang sedang menjalani pendidikan untuk menjadi seorang geisha di Kota Kyoto. Namun di Tokyo perempuan muda ini dikenal dengan sebutan â??hangyokuâ??. Untuk membedakan keduannya adalah, para hangyoku memakai kimono yang lebih panjang dengan motif bervariasi sehingga terlihat lebih modis. Sementara para maiko sebaliknya, mereka memakai kimono yang sama satu sama lain, bahkan tanpa motif yang ada dikainya sekalipun.
9. Geisha Tidak Boleh Menjalin Ikatan Cinta
Untuk mengatakan nama dan daerah asal mereka saja para geisha tidak diperbolehkan, apalagi menjalin hubungan asmara dengan seorang lelaki. Mereka baru boleh menjalin hubungan asmara dan menikah ketika sudah tidak lagi berprofesi sebagai geisha, atau pensiun.
10. Racun Dalam Riasan Wajahnya
Pulskers harus tahu yang satu ini, mereka merias wajah agar terlihat putih dengan bedak yang mengandung timah. Unsur kosmetika berbahaya itu baru diketahui ketika sebuah penelitian dilakukan di era Meiji.
Geisha, Misteri Bunga Sakura PESONA DALAM KABUT RAHASIA
Reviewed by Lk
on
04.30.00
Rating: 5
Tidak ada komentar: